Dulu waktu pilkada bupati 2010, saya belum bisa ikut karena umur belum genap 17 tahun, cuma kurang beberapa bulan saja, hikhikhik. Setelah itu, tahun 2011 sampai sekarang harus kuliah jauh dari kampung halaman. Jadinya beberapa pemilu seperti pemilu Gubernur Jateng dan pilkades terpaksa tidak bisa ikut.
Sebagai pemilu pemula, jujur saya sangat antusias dan senang karena dengan mengikuti pemilu ini saya bisa turut serta menyumbang suara sebagai bentuk demokrasi di negara Indonesia tercinta ini. Jadi kalau pemerintah hasil dari pemilu ini bagus, saya ikut berperan serta (walau Cuma satu suara, dan itu kalau yang saya pilih menang, hahaha). Walaupun sebagai wong enom alias orang muda yang udah tau bagaimana keadaan pemerintahan sekarang, terutama dari korupsi dan suap di kalangan legislatif, eksekutif baik itu pusat maupun daerah, saya tetap optimis dan berharap Pemilu tahun 2014 ini dapat terlaksana dengan lancar, sukses, dan tentunya menghasilkan wakil wakil rakyat yang benar-benar mewakili suara rakyat dan pemerintahan yang benar-benar mengabdi kepada rakyat.
Munculnya tokoh-tokoh pembaharu
Dalam Pemilu 2014 ini sedikit banyak ada perbedaan dengan pemilu sebelumnya. Yah, pasti kita sudah tau sekarang lagi ramai-ramainya muncul tokoh tokoh baru yang bisa dianggap diluar kebiasaan tokoh-tokoh yang sebelumnya sudah ada. Seperti Jokowi dan Dahlan Iskhan. Hadirnya tokoh-tokoh muda yang merakyat banget ini setidaknya memberi gairah kepada kita-kita kaum muda (ceilee) untuk tetap optimis dengan pemerintahan lima tahun ke depan dan sebagai pemilih pemula tentunya memberi dorongan lebih untuk tidak melakukan golput.
Masih ada money politic, tapi masyarakat sudah mulai cerdas
Yang namanya pemilu di Indonesia sepertinya emang gak afdol kalau tanpa money politic. Mental-mental beberapa calon yang ingin meraup suara secara instan ditambah pendidikan politik masyarakat yang masih rendah membuat praktek money politic ini susah dihilangkan di masyarakat kita. Bahkan ada cerita lucu, dulu saat pemilu 2004, Bapak Saya yang waktu itu berperan sebagai Ketua KPPS didatangi orang tua yang dengan polosnya menanyakan uang baduman (bagi-bagi). Maklum saja, sebagian besar masyarakat di desa taunya ya kalau pemilu bagi-bagi uang.
Walaupun budaya ini masih saya temui di pemilu 2014 kali ini. Namun masyarakat mulai menanggapi secara cerdas tindakan money politic ini. Masyarakat sekarang cenderung ‘memanfaatkan’ money politic sekedar mencari uang, pilihan tetap sesuai yang mereka inginkan. Gimana lagi, hla wong dapat uang dari semua calon diterima semua, padahal kan suaranya cuma satu.
Bahkan ada bapak-bapak yang cerita sama saya saat nongkrong di warung kopi. Beliau menjadi salah satu simpatisan/tim sukses. Beliau bilang kalau dia menjadi simpatisan bukan murni sukarela, tapi emang diniatin mergawe alias cari uang. Ketika dia ditargetkan menyebar amplop 100 lembar, Beliau gak segan-segan motong 10 amplop.
“hla piye Mas, wira-wiri kan ya butuh bensin. Hla nak aku suka rela ya nak wes padha dadi wakil rakyat ya da lali karo janjine. Ketemu ning dalan nyapa wae ora” (Mau bagaimana Mas, mondar-mandir kan juga butuh uang. Kalau saya suka rela ya kalau udah jadi wakil rakyat lupa sama janjinya. Ketemu di jalan menyapa aja enggak)
Begitulah kira-kira pendapat Beliau. Menurut Beliau juga, keberhasilan suara yang didapat dari amplop tersebut gak bisa dijamin, tembus 50% saja sudah dianggap sangat baik.
Pola-pola seperti inilah yang saya harapkan dapat mengurangi money politic di Indonesia. Meskipun masih ada money politic, masyarakat sudah cerdas menanggapinya. Uang sekarang bukan menjadi jaminan. Harapan saya sih calon-calon pemimpin ke depan lebih dapat memberikan program-program dan solusi yang baik bagi masyarakat atas segala permasalahan yang ada, bukan malah menyuap masyarakat yang dimana jika di hitung-hitung lagi untuk mengembalikan uang tersebut, akhirnya mereka malah melakukan korupsi.
Harapan saya sih sederhana saja, semoga dengan adanya Pemilu seperti ini, selain sebagai bentuk kegiatan negara demokrasi, juga dijadikan sebagai pembelajaran bagi masyarakat kita bagaimana untuk memilih pemimpin yang baik dan tentunya memberi pelajaran bagi para calon pemimpin untuk lebih mementingkan memberikan harapan yang baik bagi masyarakat, bukan hanya iming-iming uang dan akhirnya menjadi pemimpin yang korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar