Di postingan yang judulnya panjang kali ini, saya mau nyeritain peristiwa yang saya alami beberapa hari yang lalu. Sebelumnya saya juga agak bingung mau ngasih judul apa. Ya jadinya panjang kayak gitu, maklum blogger nyubie, hehehe.
Beberapa waktu yang lalu mungkin Masbro Mbakbro pernah denger kasus tentang harga-harga barang di mini market (seperti ind*maret, alf*mart) yang tidak sesuai dengan label di raknya. Misalnya Masbro Mbakbro beli roti yang label harga di raknya tertulis 10.000 rupiah, ternyata waku bayar di kasir harganya 12.000 rupiah. Tentunya hal ini sangat merugikan konsumen walaupun nilainya tidak terlalu besar. Tapi kalau jumlah konsumennya banyak, ya cukup lumayan juga.
Balik lagi di cerita, karena kemarin awal bulan, seperti biasa saya harus nyetok persediaan mie instan, harap maklum lah, mahasiswa, hehehe. Abis dari kampus balik ke kos mampir dulu ke mini market ind*maret. Setelah sebelumnya cari uang (baca : ambil kiriman di ATM, hahaha), masuk ke mini market, ambil keranjang, trus ambil mie secukupnya. Niatnya sih cuma beli mie, tapi waktu lewat di rak deterjen, keinget kalau deterjen di kos mau habis. Mumpung bawa uang lebih, akhirnya saya ambil juga. Eits, mau ambil yang ukuran biasanya (1 kg dengan harga 14.000 rupiah), ternyata ada yang ukuran 1,8 kg dengan harga 20.000 rupiah tertulis di label harga yang ada di rak. Dasar otak mahasiswa, ada yang lebih murah ya ambil yang murah, hehehehe.
Abis itu langsung cihuy ke kasir, dan disinilah yang hampir membuat saya protes ke teteh kasirnya. Pas deterjennya dibaca di barcode reader, ternyata harga yang keluar 25.000 rupiah. Langsung aja saya kaget, wah ini kok naik 5.000 rupiah, bisa dapet lauk itu, guman saya di dalam hati. Di label harga yang ada di rak kan jelas-jelas tertulis 20.000 rupiah, kok ini jadi 25.000 rupiah. Waktu saya mau protes ke teteh kasirnya, eh ternyata teteh kasirnya udah nyeletuk duluan. "Ini total 60.000 Ak, dapat potongan hemat 5.000, jadinya 55.000". Oalah, ternyata harga deterjen 20.000 rupiah itu udah didiskon. Kenapa di labelnya gak ditulis harga asli dan harga diskonnya, get-geti uwong wae, tepuk jidat, hadooohh.
Untung aja waktu itu saya bawa uang lebih, misal uang saya pas, kan bisa bikin malu. Menurut saya hal seperti ini seharusnya dihindari pihak mini market. Ketidaksamaan harga pada label harga di rak dan di kasir tentunya dapat merugikan konsumen, misalnya ya tadi kalau konsumen bawa uang pas. Selain itu, timbul kecurigaan dari konsumen karena mini market terkesan 'menipu' dengan menaikan harga. Konsumen udah seneng dapat harga murah, ternyata waktu bayar di kasir di-PHP-in. Dan satu lagi, hal-hal seperti ini, IMHO dapat dimanfaatkan oknum-oknum kasir nakal dengan tidak memberikan diskonnya (dengan catatan sistem pembayaran di kasir memungkinkan dilakukan hal tersebut).
Mungkin peristiwa yang saya alami ini termasuk salah satu penyebab munculnya kasus harga yang tidak sama yang kemarin-kemarin santer dibicarakan di media sosial. Selain peristiwa seperti itu, akhir-akhir ini di beberapa mini market saya juga sering menjumpai label harga di rak yang tidak sesuai dengan jenis barang yang ada di rak tersebut, hal-hal seperti ini jarang sekali saya temui di mini market sejak saya SMP. Saya sih positive tinking aja Masbro Mbakbro, mungkin kasirnya lupa/malas buat mengganti label harganya. Tetapi di jaman sakarng dimana informasi mudah menyebar, hal seperti ini tentunya dapat merugikan nama mini market itu sendiri. Harapan saya semoga hal-hal kecil tersebut kedepannya gak kita jumpai lagi, kan gak keren mau bayar di kasir ternyata uang kita kurang Masbro Mbakbro, hehehe.
Itu lah pengalaman saya Masbro Mbakbro, Semoga bermanfaat :)
Senin, 05 Mei 2014
Rabu, 30 April 2014
Korupsi dan Pendidikan
Alhamdulillah, di tengah sibuknya tugas kuliah yang biasanya datang menjelang akhir semester seperti saat ini, saya masih sempet ngeblog juga. Kali ini bahas yang agak serius nih, hehehehe. Yak seperti judul posting ini, korupsi. Pasti Masbro Mbakbro semua udah tau korupsi itu apa, hla wong tiap hari di televisi, koran, internet hampir pasti ada yang membahas korupsi. Emang negara kita tercinta Indonesia ini sedang dilanda ujian yang namanya korupsi. Mulai dari Pejabat yang di Jakarta sono sampai pejabat-pejabat daerah. Kayaknya korupsi masih susah untuk diberantas.
Yang menjadi pertanyaan saya dan mungkin Masbro Mbakbro, kenapa sih negara kita ini begitu susahnya menghilangkan yang namanya korupsi? seolah-olah korupsi ini udah menjadi budaya. Walaupun istilah budaya ini sebenarnya kurang tepat, karena budaya itu setau saya sesuatu yang baik dan indah. Apa sebenarnya akar permasalahan korupsi ini? Trus kenapa di judul posting ini saya juga menambahkan kata Pendidikan? Emang ada gitu hubungannya? Oke deh, sebelum saya menyampaikan gagasan atau ide saya (sekali lagi ini cuma opini saya ya, jadi spurane nek salah, hehehe), ada sedikit cerita yang juga melatarbelakangi saya menulis postingan ini.
Tepatnya, kemarin saya sedang duduk dengan salah satu teman saya, biasa ngobrol santai
Saya : "Hlo John (panggilan akrab ke teman), itu kasus korupsi lagi" (sambil nunjuk televisi)
Temen : "Iya ya, sebenarnya apa sih yang bikin banyak kasus korupsi di negeri kita?"
Saya : "Tau sendiri lah, mau jadi pejabat aja ngeluarin uang banyak, masuk partai butuh uang, salah satu sebabnya ya partai. Orang kita kebanyakan masuk partai buat cari uang, bukan untuk mengabdi ke negara"
Temen : "iya ya, bener juga, tapi menurut saya, kalau diamati lebih lagi, sebenarnya penyebab korupsi itu sistem pendidikan kita. Lihat saja, sejak kecil kita udah dipaksa harus curang, nyontek lah, itu lah."
Dari percakapan di atas lah saya jadi teringat, waktu dulu SMA saya pernah diskusi dengan Mas sepupu saya yang lebih dewasa, pembahasanya hampir sama. Dan waktu itu juga saya nyalahin partai. Dan dia ngasih opini kalau sebenarnya sistem pendidikan kita menjadi salah satu penyebab maraknya korupsi.
Trus hubungannya apa korupsi sama sistem pendidikan kita? berikut beberapa analisis saya (guayane, hehehe) tentang beberapa hal yang menurut saya menjadi penyebab perilaku korupsi akibat dari sistem pendidikan kita.
1. Pendidikan tentang kejujuran yang kurang
Emang, kejujuran adalah hal yang paling penting untuk melawan korupsi. Hla piye, korupsi itu kan bohong, lawannya bohong ya jujur. Namun dalam prakteknya, kejujuran masih disepelekan di pendidikan kita. Gampang aja, budaya mencontek itu udah melekat banget waktu kita sekolah. Saya yakin Masbro Mbakbro di sini pernah melihat atau bahkan melakukannya. Di sisi lain, kebanyakan sekolah masih menganggap perilaku ini sebagai hal yang biasa, akibatnya penanganannya masih dibawah kasus-kasus berat yang lain seperti tawuran dan bertengkar. Siswa didik biasanya hanya ditegur guru, tidak sampai dibawa ke BK atau mendapatkan skorsing. Kebiasaan kecil seperti mencontek ini lah yang dibiarkan kelak akan membentuk perilaku kita untuk melakukan tindakan tidak jujur seperti korupsi.
2. Lebih mementingkan hasil dari pada proses.
Pendidikan kita emang masih menganut penilaian berdasarkan hasil, bukan proses. Contohnya adik-adik kita yang ada di SMA dan SMP. Kelulusan mereka diambil dari hasil ujian nasional (walaupun sekarang udah melibatkan nilai raport), bukan dari proses mereka belajar bagaimana perkembangan mereka dari tahap-ke tahap. Akibatnya, adik-adik kita ini harus mengejar target untuk lulus ujian nasional. Dan sayangnya, ujian nasional ini masih terbatas pada bidang tertentu saja. Mungkin untuk siswa yang pandai di bidang akademik, gampang lah, tapi kalau siswanya pandai di bidang lain, misal keterampilan, olah raga, seni. Mereka pasti akan kesulitan. Akibatnya, mau tidak mau, adik-adik kita 'terpaksa' harus melakukan kecurangan-kecurangan untuk memenuhi kelulusan ujian nasional ini, seperti mencotek, membeli jawaban soal, dan yang lainnya.
3. Beberapa persepsi yang salah
Menurut saya, ada beberapa persepsi yang salah dalam sistem pendidikan kita ini sekarang. Salah satunya yaitu tidak lulus atau tidak naik kelas adalah akhir dari segalanya. Persepsi ini melekat baik di siswa, orang tua, bahkan pihak sekolah. Masbro Mbakbro mungkin bisa mencermati, untuk sekarang ini, sulit sekali menemui kejadian siswa yang tidak lulus atau tidak naik kelas. Persentasenya berkurang. Mungkin di lain sisi hal ini bagus karena menunjukan kualitas anak kita semakin bagus. Namun di sisi lainnya, hal ini akan membentuk persepsi bahwa jika kita tidak lulus atau tidak naik kelas, maka itu akhir segalanya. Siswa menjadi stres dan tidak mau sekolah karena malu. Orang tua juga menjadi malu. diperparah lagi, pihak sekolah kurang bisa menangani untuk siswa-siswanya yang tidak lulus atau tidak naik kelas, bahkan ada yang sampai dikeluarkan. Akibatnya, sekali lagi siswa mau tidak mau 'terpaksa' harus melakukan kecurangan-kecurangan agar tidak mengalami peristiwa tersebut. Bahkan untuk beberapa sekolah yang sudah memiliki nama, tidak jarang mereka melakukan kecurangan atau setidaknya secara tidak langsung tidak melarang (mendukung) tindakan-tindakan yang dilakukan siswa tersebut. Hal ini kontras dengan kondisi sekolah waktu Bapak Saya dulu, menurut beliau, jaman dulu, setengah kelas tidak naik kelas itu biasa, siswa mendapatkan nilai merah (menandakan jelek) di raport juga sudah biasa. Akibatnya, secara mental siswa menjadi lebih kuat. Sistem ini sebenarnya sudah kita temui di Sekolah Tinggi, mungkin Masbro Mbakbro yang udah kuliah juga tahu kalau mengulang suatu matakuliah bersama adik angkatan itu bukan sesuatu yang menakutkan. Jika sistem ini diterapkan pada level pendidikan yang lebih rendah (tentunya dengan beberapa penyesuaian), saya yakin akan merubah perspektif kita tentang tidak naik kelas atau tidak lulus. Bukankah kegagalan itu kesuksesan yang tertunda?
Yang ke dua, memukul sama rata kemampuan siswa, hal ini menurut saya termasuk yang paling fatal dan sekaligus menjadi tantangan bagi sistem pendidikan kita. Selama ini, materi pembelajaran yang diberikan kepada siswa menurut saya belum merata. Sistem pendidikan kita masih menonjolkan untuk beberapa bidang, terutama bidang matematika dan sains. Di sisi lain, tidak semua siswa bisa menonjol pada bidang tersebut. Hal ini diperparah dengan penilaian yang tidak sama rata, seperti ujian nasional yang masih terbatas pada bidang-bidang tersebut, bukan meliputi semua bidang. Ya lagi dan lagi, mau tidak mau, siswa 'terpaksa' harus berbuat kecurangan-kecurangan.
Kebiasaan melakukan kecurangan-kecurangan dan persepsi-persepsi yang salah semasa kita sekolah tadi, sedikit demi sedikit membentuk perilaku kita secara tidak sadar untuk melakukan kecurangan, tak terkecuali melakukan korupsi yang sekarang banyak menimpa pejabat-pejabat kita di pemerintahan. Hla piye, mencontek itu kan bohong, korupsi juga bohong, padha wae kan, sama saja, hehehe. Seharusnya, tindakan-tindakan tidak jujur mulai dicegah sejak dini, dan salah satunya melalui sistem pendidikan kita. Jangan sampai tindakan tidak jujur dianggap masyarakat sebagai sesuatu yang biasa dan terkesan tidak bersalah. Ya kan Masbro Mbakbro, hehehe.
Tentunya, hal ini bukan menjadi satu-satunya faktor, masih banyak faktor lain untuk penanganan korupsi seperti penegakan hukum yang lebih tegas, dan yang lainnya.
Walah, ora krasa wis nulis akehe ngene, okelah cukup sampai di sini aja Masbro Mbakbro. Tak henti-hentinya saya berharap, semoga negara kita tercinta ini, Indonesia bakal terbebas dari korupsi dan menjadi negara yang lebih baik.
Last, ambil tagline KPK : "BERANI JUJUR ITU HEBAT!"
Yang menjadi pertanyaan saya dan mungkin Masbro Mbakbro, kenapa sih negara kita ini begitu susahnya menghilangkan yang namanya korupsi? seolah-olah korupsi ini udah menjadi budaya. Walaupun istilah budaya ini sebenarnya kurang tepat, karena budaya itu setau saya sesuatu yang baik dan indah. Apa sebenarnya akar permasalahan korupsi ini? Trus kenapa di judul posting ini saya juga menambahkan kata Pendidikan? Emang ada gitu hubungannya? Oke deh, sebelum saya menyampaikan gagasan atau ide saya (sekali lagi ini cuma opini saya ya, jadi spurane nek salah, hehehe), ada sedikit cerita yang juga melatarbelakangi saya menulis postingan ini.
Tepatnya, kemarin saya sedang duduk dengan salah satu teman saya, biasa ngobrol santai
Saya : "Hlo John (panggilan akrab ke teman), itu kasus korupsi lagi" (sambil nunjuk televisi)
Temen : "Iya ya, sebenarnya apa sih yang bikin banyak kasus korupsi di negeri kita?"
Saya : "Tau sendiri lah, mau jadi pejabat aja ngeluarin uang banyak, masuk partai butuh uang, salah satu sebabnya ya partai. Orang kita kebanyakan masuk partai buat cari uang, bukan untuk mengabdi ke negara"
Temen : "iya ya, bener juga, tapi menurut saya, kalau diamati lebih lagi, sebenarnya penyebab korupsi itu sistem pendidikan kita. Lihat saja, sejak kecil kita udah dipaksa harus curang, nyontek lah, itu lah."
Dari percakapan di atas lah saya jadi teringat, waktu dulu SMA saya pernah diskusi dengan Mas sepupu saya yang lebih dewasa, pembahasanya hampir sama. Dan waktu itu juga saya nyalahin partai. Dan dia ngasih opini kalau sebenarnya sistem pendidikan kita menjadi salah satu penyebab maraknya korupsi.
Trus hubungannya apa korupsi sama sistem pendidikan kita? berikut beberapa analisis saya (guayane, hehehe) tentang beberapa hal yang menurut saya menjadi penyebab perilaku korupsi akibat dari sistem pendidikan kita.
1. Pendidikan tentang kejujuran yang kurang
Emang, kejujuran adalah hal yang paling penting untuk melawan korupsi. Hla piye, korupsi itu kan bohong, lawannya bohong ya jujur. Namun dalam prakteknya, kejujuran masih disepelekan di pendidikan kita. Gampang aja, budaya mencontek itu udah melekat banget waktu kita sekolah. Saya yakin Masbro Mbakbro di sini pernah melihat atau bahkan melakukannya. Di sisi lain, kebanyakan sekolah masih menganggap perilaku ini sebagai hal yang biasa, akibatnya penanganannya masih dibawah kasus-kasus berat yang lain seperti tawuran dan bertengkar. Siswa didik biasanya hanya ditegur guru, tidak sampai dibawa ke BK atau mendapatkan skorsing. Kebiasaan kecil seperti mencontek ini lah yang dibiarkan kelak akan membentuk perilaku kita untuk melakukan tindakan tidak jujur seperti korupsi.
2. Lebih mementingkan hasil dari pada proses.
Pendidikan kita emang masih menganut penilaian berdasarkan hasil, bukan proses. Contohnya adik-adik kita yang ada di SMA dan SMP. Kelulusan mereka diambil dari hasil ujian nasional (walaupun sekarang udah melibatkan nilai raport), bukan dari proses mereka belajar bagaimana perkembangan mereka dari tahap-ke tahap. Akibatnya, adik-adik kita ini harus mengejar target untuk lulus ujian nasional. Dan sayangnya, ujian nasional ini masih terbatas pada bidang tertentu saja. Mungkin untuk siswa yang pandai di bidang akademik, gampang lah, tapi kalau siswanya pandai di bidang lain, misal keterampilan, olah raga, seni. Mereka pasti akan kesulitan. Akibatnya, mau tidak mau, adik-adik kita 'terpaksa' harus melakukan kecurangan-kecurangan untuk memenuhi kelulusan ujian nasional ini, seperti mencotek, membeli jawaban soal, dan yang lainnya.
3. Beberapa persepsi yang salah
Menurut saya, ada beberapa persepsi yang salah dalam sistem pendidikan kita ini sekarang. Salah satunya yaitu tidak lulus atau tidak naik kelas adalah akhir dari segalanya. Persepsi ini melekat baik di siswa, orang tua, bahkan pihak sekolah. Masbro Mbakbro mungkin bisa mencermati, untuk sekarang ini, sulit sekali menemui kejadian siswa yang tidak lulus atau tidak naik kelas. Persentasenya berkurang. Mungkin di lain sisi hal ini bagus karena menunjukan kualitas anak kita semakin bagus. Namun di sisi lainnya, hal ini akan membentuk persepsi bahwa jika kita tidak lulus atau tidak naik kelas, maka itu akhir segalanya. Siswa menjadi stres dan tidak mau sekolah karena malu. Orang tua juga menjadi malu. diperparah lagi, pihak sekolah kurang bisa menangani untuk siswa-siswanya yang tidak lulus atau tidak naik kelas, bahkan ada yang sampai dikeluarkan. Akibatnya, sekali lagi siswa mau tidak mau 'terpaksa' harus melakukan kecurangan-kecurangan agar tidak mengalami peristiwa tersebut. Bahkan untuk beberapa sekolah yang sudah memiliki nama, tidak jarang mereka melakukan kecurangan atau setidaknya secara tidak langsung tidak melarang (mendukung) tindakan-tindakan yang dilakukan siswa tersebut. Hal ini kontras dengan kondisi sekolah waktu Bapak Saya dulu, menurut beliau, jaman dulu, setengah kelas tidak naik kelas itu biasa, siswa mendapatkan nilai merah (menandakan jelek) di raport juga sudah biasa. Akibatnya, secara mental siswa menjadi lebih kuat. Sistem ini sebenarnya sudah kita temui di Sekolah Tinggi, mungkin Masbro Mbakbro yang udah kuliah juga tahu kalau mengulang suatu matakuliah bersama adik angkatan itu bukan sesuatu yang menakutkan. Jika sistem ini diterapkan pada level pendidikan yang lebih rendah (tentunya dengan beberapa penyesuaian), saya yakin akan merubah perspektif kita tentang tidak naik kelas atau tidak lulus. Bukankah kegagalan itu kesuksesan yang tertunda?
Yang ke dua, memukul sama rata kemampuan siswa, hal ini menurut saya termasuk yang paling fatal dan sekaligus menjadi tantangan bagi sistem pendidikan kita. Selama ini, materi pembelajaran yang diberikan kepada siswa menurut saya belum merata. Sistem pendidikan kita masih menonjolkan untuk beberapa bidang, terutama bidang matematika dan sains. Di sisi lain, tidak semua siswa bisa menonjol pada bidang tersebut. Hal ini diperparah dengan penilaian yang tidak sama rata, seperti ujian nasional yang masih terbatas pada bidang-bidang tersebut, bukan meliputi semua bidang. Ya lagi dan lagi, mau tidak mau, siswa 'terpaksa' harus berbuat kecurangan-kecurangan.
Kebiasaan melakukan kecurangan-kecurangan dan persepsi-persepsi yang salah semasa kita sekolah tadi, sedikit demi sedikit membentuk perilaku kita secara tidak sadar untuk melakukan kecurangan, tak terkecuali melakukan korupsi yang sekarang banyak menimpa pejabat-pejabat kita di pemerintahan. Hla piye, mencontek itu kan bohong, korupsi juga bohong, padha wae kan, sama saja, hehehe. Seharusnya, tindakan-tindakan tidak jujur mulai dicegah sejak dini, dan salah satunya melalui sistem pendidikan kita. Jangan sampai tindakan tidak jujur dianggap masyarakat sebagai sesuatu yang biasa dan terkesan tidak bersalah. Ya kan Masbro Mbakbro, hehehe.
Tentunya, hal ini bukan menjadi satu-satunya faktor, masih banyak faktor lain untuk penanganan korupsi seperti penegakan hukum yang lebih tegas, dan yang lainnya.
Walah, ora krasa wis nulis akehe ngene, okelah cukup sampai di sini aja Masbro Mbakbro. Tak henti-hentinya saya berharap, semoga negara kita tercinta ini, Indonesia bakal terbebas dari korupsi dan menjadi negara yang lebih baik.
Last, ambil tagline KPK : "BERANI JUJUR ITU HEBAT!"
Minggu, 13 April 2014
Pemilu 2014, pemilu pertama saya
Alhamdulillah, setelah lama akhirnya saya bisa ikut berperan serta dalam pemilu untuk pertama kalinya. Momennya pas aja habis UTS dimana biasanya ada waktu kosong seminggu. Saya bela-belain pulang kampung naik bus malam semalaman (yaiyalah, masak seharian, hehehe...). Sekalian pulang kampung, sekalian nyoblos, yeeeee...
Dulu waktu pilkada bupati 2010, saya belum bisa ikut karena umur belum genap 17 tahun, cuma kurang beberapa bulan saja, hikhikhik. Setelah itu, tahun 2011 sampai sekarang harus kuliah jauh dari kampung halaman. Jadinya beberapa pemilu seperti pemilu Gubernur Jateng dan pilkades terpaksa tidak bisa ikut.
Sebagai pemilu pemula, jujur saya sangat antusias dan senang karena dengan mengikuti pemilu ini saya bisa turut serta menyumbang suara sebagai bentuk demokrasi di negara Indonesia tercinta ini. Jadi kalau pemerintah hasil dari pemilu ini bagus, saya ikut berperan serta (walau Cuma satu suara, dan itu kalau yang saya pilih menang, hahaha). Walaupun sebagai wong enom alias orang muda yang udah tau bagaimana keadaan pemerintahan sekarang, terutama dari korupsi dan suap di kalangan legislatif, eksekutif baik itu pusat maupun daerah, saya tetap optimis dan berharap Pemilu tahun 2014 ini dapat terlaksana dengan lancar, sukses, dan tentunya menghasilkan wakil wakil rakyat yang benar-benar mewakili suara rakyat dan pemerintahan yang benar-benar mengabdi kepada rakyat.
Dulu waktu pilkada bupati 2010, saya belum bisa ikut karena umur belum genap 17 tahun, cuma kurang beberapa bulan saja, hikhikhik. Setelah itu, tahun 2011 sampai sekarang harus kuliah jauh dari kampung halaman. Jadinya beberapa pemilu seperti pemilu Gubernur Jateng dan pilkades terpaksa tidak bisa ikut.
Sebagai pemilu pemula, jujur saya sangat antusias dan senang karena dengan mengikuti pemilu ini saya bisa turut serta menyumbang suara sebagai bentuk demokrasi di negara Indonesia tercinta ini. Jadi kalau pemerintah hasil dari pemilu ini bagus, saya ikut berperan serta (walau Cuma satu suara, dan itu kalau yang saya pilih menang, hahaha). Walaupun sebagai wong enom alias orang muda yang udah tau bagaimana keadaan pemerintahan sekarang, terutama dari korupsi dan suap di kalangan legislatif, eksekutif baik itu pusat maupun daerah, saya tetap optimis dan berharap Pemilu tahun 2014 ini dapat terlaksana dengan lancar, sukses, dan tentunya menghasilkan wakil wakil rakyat yang benar-benar mewakili suara rakyat dan pemerintahan yang benar-benar mengabdi kepada rakyat.
Munculnya tokoh-tokoh pembaharu
Dalam Pemilu 2014 ini sedikit banyak ada perbedaan dengan pemilu sebelumnya. Yah, pasti kita sudah tau sekarang lagi ramai-ramainya muncul tokoh tokoh baru yang bisa dianggap diluar kebiasaan tokoh-tokoh yang sebelumnya sudah ada. Seperti Jokowi dan Dahlan Iskhan. Hadirnya tokoh-tokoh muda yang merakyat banget ini setidaknya memberi gairah kepada kita-kita kaum muda (ceilee) untuk tetap optimis dengan pemerintahan lima tahun ke depan dan sebagai pemilih pemula tentunya memberi dorongan lebih untuk tidak melakukan golput.
Masih ada money politic, tapi masyarakat sudah mulai cerdas
Yang namanya pemilu di Indonesia sepertinya emang gak afdol kalau tanpa money politic. Mental-mental beberapa calon yang ingin meraup suara secara instan ditambah pendidikan politik masyarakat yang masih rendah membuat praktek money politic ini susah dihilangkan di masyarakat kita. Bahkan ada cerita lucu, dulu saat pemilu 2004, Bapak Saya yang waktu itu berperan sebagai Ketua KPPS didatangi orang tua yang dengan polosnya menanyakan uang baduman (bagi-bagi). Maklum saja, sebagian besar masyarakat di desa taunya ya kalau pemilu bagi-bagi uang.
Walaupun budaya ini masih saya temui di pemilu 2014 kali ini. Namun masyarakat mulai menanggapi secara cerdas tindakan money politic ini. Masyarakat sekarang cenderung ‘memanfaatkan’ money politic sekedar mencari uang, pilihan tetap sesuai yang mereka inginkan. Gimana lagi, hla wong dapat uang dari semua calon diterima semua, padahal kan suaranya cuma satu.
Bahkan ada bapak-bapak yang cerita sama saya saat nongkrong di warung kopi. Beliau menjadi salah satu simpatisan/tim sukses. Beliau bilang kalau dia menjadi simpatisan bukan murni sukarela, tapi emang diniatin mergawe alias cari uang. Ketika dia ditargetkan menyebar amplop 100 lembar, Beliau gak segan-segan motong 10 amplop.
“hla piye Mas, wira-wiri kan ya butuh bensin. Hla nak aku suka rela ya nak wes padha dadi wakil rakyat ya da lali karo janjine. Ketemu ning dalan nyapa wae ora” (Mau bagaimana Mas, mondar-mandir kan juga butuh uang. Kalau saya suka rela ya kalau udah jadi wakil rakyat lupa sama janjinya. Ketemu di jalan menyapa aja enggak)
Begitulah kira-kira pendapat Beliau. Menurut Beliau juga, keberhasilan suara yang didapat dari amplop tersebut gak bisa dijamin, tembus 50% saja sudah dianggap sangat baik.
Pola-pola seperti inilah yang saya harapkan dapat mengurangi money politic di Indonesia. Meskipun masih ada money politic, masyarakat sudah cerdas menanggapinya. Uang sekarang bukan menjadi jaminan. Harapan saya sih calon-calon pemimpin ke depan lebih dapat memberikan program-program dan solusi yang baik bagi masyarakat atas segala permasalahan yang ada, bukan malah menyuap masyarakat yang dimana jika di hitung-hitung lagi untuk mengembalikan uang tersebut, akhirnya mereka malah melakukan korupsi.
Harapan saya sih sederhana saja, semoga dengan adanya Pemilu seperti ini, selain sebagai bentuk kegiatan negara demokrasi, juga dijadikan sebagai pembelajaran bagi masyarakat kita bagaimana untuk memilih pemimpin yang baik dan tentunya memberi pelajaran bagi para calon pemimpin untuk lebih mementingkan memberikan harapan yang baik bagi masyarakat, bukan hanya iming-iming uang dan akhirnya menjadi pemimpin yang korupsi.
Langganan:
Postingan (Atom)